Menelusuri Jejak Sejarah Kerajaan Malayu Tua di Situs Muara Jambi, Situs Purbakala Terluas Di Indonesia

peta-situs1
Peta Situs Muara Jambi
Tahukah anda jika di propinsi Jambi pernah berdiri tiga kerajaan melayu? Dua diantaranya bercorak Budha, bermula dari Kerajaan Malayu (Melayu Tua) kemudian muncul Kerajaan Dharmasraya (Melayu Muda), dan terakhir adalah Kesultanan Jambi yang bercorak Islam (Melayu Islam). Ketiga Kerajaan tersebut berdiri silih berganti sejak abad ke-4 Masehi hingga kedatangan bangsa Belanda ke Jambi yang berhasil menghancurkan Kesultanan Jambi pada tahun 1904.
Sebagian masyarakat di Propinsi Jambi sudah mengetahui keberadaan situs Muara Jambi yang lebih dikenal dengan komplek percandian Muara Jambi, minimal pernah mendengar nama tersebut. Tapi, siapa menyangka jika situs purbakala tersebut ditemukan di tengah lebatnya hutan. Jangan membayangkan bahwa candi-candi tersebut seperti Candi Borobudur atau Prambanan di Pulau Jawa. Situs purbakala yang membentang dari Barat ke Timur di tepian Sungai Batang Hari sepanjang 7,5 kilometer ini dibangun menggunakan batu merah dan pada dindingnya belum ditemukan pahatan-pahatan relief. Keberadaan kompleks percandian ini menjadi bukti bahwa sekitar abad 4-5 Masehi, Kerajaan Malayu (Melayu Tua yang bercorak Budha) pernah beribu kota di Muara Jambi. Peninggalan ini terbentang dari desa Muaro Jambi dan desa Danau Lamo di bagian barat hingga desa Kemingking Dalam, Kecamatan Muaro Sebo di bagian Timur, Kabupaten Muara Jambi. Situs yang terletak sekitar 500 meter dari Sungai Batang Hari ini memiliki luas 155.269,58 hektar, sepuluh kali lebih luas dari situs borobudur, keberadaannya seperti tersembunyi dari peradaban.
Bagi yang menyukai wisata sejarah, situs Muara Jambi dapat dijadikan sebagai pilihan. Untuk menuju ke Komplek Percandian Muara Jambi, dapat ditempuh melalui jalan sungai dan darat. Berikut adalah catatan perjalan saya menuju situs Muara Jambi pada Sabtu ( 7 Februari 2009).
Perjalanan saya menuju situs Muara Jambi ditempuh dengan lancar melalui jalan darat dengan menggunakan sepeda motor selama 1 jam dari pusat kota melalui Jembatan Aurduri, Simpang Jambi Kecil, hingga tiba di lokasi. Setelah melewati Jembatan Aurduri, jalan terbagi dua, ke arah kanan menuju ke Kecamatan Danau Teluk (Kota Jambi) sedangkan ke arah kiri menuju kelurahan Penyengat Olak (Muara Jambi), ke arah inilah sepeda motor kami belokkan. Jalan yang ditempuh sepanjang kelurahan Penyengat Olak berkondisi baik, lebar dan ramai dengan kendaraan besar, wajar saja karena ini merupakan jalan lintas yang dilalui oleh kendaraan berbadan besar.
Baru tiga kilometer perjalanan dari jembatan Aur Duri, terdapat sebuah simpang tiga dengan papan penunjuk arah berukuran besar, yang menyatakan bahwa untuk menuju ke lokasi kami harus berbelok ke arah kanan. Setelah berbelok ke arah kanan kembali terdapat papan penunjuk arah, kali ini berukuran kecil dengan tulisan : Candi Muara Jambi 23 KM. Inilah yang dinamakan simpang Jambi Kecil. Rute yang akan saya lewati selanjutnya adalah jalan perkampungan yang sudah beraspal. Sayangnya, sepanjang jalan ini terdapat banyak lubang dengan kedalaman 10 hingga 20 cm. Mulai dari sinilah, kami sulit melaju dengan kecepatan tinggi.
Dua kilometer dari simpang Jambi Kecil, kami masih menemukan banyak rumah-rumah penduduk berbentuk rumah panggung, sekolah dasar dan madrasah, hewan ternak seperti sapi, kambing, dan kotorannya, serta ladang. Setelah itu, sepanjang jalan hanya dipenuhi oleh kebun karet, semak belukar serta pohon-pohon tinggi berdaun lebat. Rute ini, lebih layak disebut “membelah hutan”. Selama dua puluh menit, yang terlihat di rute ini hanya semak belukar dan pohon-pohon rindang, sesekali kami bertemu dengan satu-dua orang warga yang baru pulang dari berladang. Jika saja di rute itu, sepeda motor yang saya kendarai tiba-tiba mogok, berarti saya harus mendorong sepeda motor sejauh belasan kilometer untuk bisa menemukan bengkel. Dalam perjalanan melintasi hutan ini, saya hanya bisa berharap semua berlangsung dengan baik. Suatu saat saya dikejutkan dengan seekor kera yang sedang melintas. Dalam benak, untung hanya seekor kera, bagaimana halnya jika kami bertemu dengan binatang buas ?
Sekitar dua puluh menit “membelah hutan” kami kembali menemukan rumah warga, ini pertanda bahwa beberapa saat lagi kami akan melintasi jalan besar. Ternyata benar, setelah keluar dari rute “membelah hutan”, selanjutnya adalah “rute aman”. Di “rute aman” ini, banyak terdapat rumah warga, fasilitas publik, termasuk bengkel sepeda motor. Sekitar 15 menit kemudian, saya tiba di lokasi, tentu dengan petunjuk dari “papan penunjuk jalan yang berukuran kecil”. Karena ini adalah perjalan pertama saya menuju ke Situs Muara Jambi, maka keberadaan papan penunjuk arah sangat berarti.
Setibanya di lokasi, saya heran, ternyata keadaan komplek percandian ini tidak jauh berubah dengan keadaan 15 tahun lalu saat saya masih berumur 6 tahun dan masih duduk di kelas 1 sekolah dasar, saat pertama kali saya mengunjungi situs ini. Yang berbeda hanyalah adanya gapura di pintu utama, papan bertuliskan “Selamat Datang di Situs Muara Jambi” serta jalan setapak terbuat dari konblok yang menjadi penghubung antar candi. Ya, komplek percandian ini sangat luas, jadi diperbolehkan untuk menggunakan sepeda motor di area komplek untuk menuju candi yang satu ke candi yang lain.dalam menghubungkan untuk menggunakan sepeda motor.
Lima ratus meter dari pintu utama, terdapat sebuah dermaga kecil di pinggir sungai Batanghari. Dermaga ini digunakan bagi pelancong yang menggunakan speedboat melalui Batanghari yang merupakan sungai terpanjang di sumatera. Dari informasi yang saya dapat, dermaga ini sangat jarang disinggahi oleh speedboat karena pada umumnya pelancong lebih memilih jalan darat. Masuk dari pintu utama, disisi kiri (sebelah barat) terdapat rumah-rumah penduduk berbentuk rumah panggung berdinding kayu, disisi kanan (sebelah timur) terdapat gedung kesenian yang berwarna merah bata – sama seperti warna candi-candi disini. Kemudian disebelah timur terdapat gedung koleksi atau museum situs yang menyimpan artefak-artefak yang ditemukan di situs ini.
Candi Gumpung
Candi yang pertama kali kita jumpai adalah Candi Gumpung, yang berada tepat di depan Museum Situs . Candi ini ditemukan pada tahun 1820, dan dilakukan pemugaran pada tahun 1982 sd 1988. Penyebutan nama gumpung pertama kali oleh F.M.Schinitger dalam laporan pengamatannya pada tahun 1937. Berdasarkan dari bentuk huruf pada prasasti-prasasti yang ditemukan pada candi gumpung, diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke 9 masehi hingga awal abad ke 10 Masehi. Candi gumpung memiliki halaman yang dibatasi dengan pagar keliling berbentuk persegi dengan ukuran 150 m x 155 m dengan 6 buah gapura, terdapat sebuah candi induk berukuran 17,9 m x 17,3 m dan candi perwara berukuran 9,85 m dan 9,75 m. Sekeliling pagar terdapat parit kecil yang dahulu dapat dialiri oleh air. Disebelah utara candi ini terdapat sungai buatan yang disebut dengan parit johor dan bagian barat terdapat sungai (buatan) jambi, namun kedua sungai buatan tersebut saat ini sudah mengalami pendangkalan dan tidak bisa dilalui lagi dengan kendaraan air seperti perahu sampan. Candi ini menghadap ke arah timur, sesuai dengan arah gapura utama. Pada waktu dilakukan pemugaran tahun 1982 hingga 1988, telah diselamatkan beberapa temuan penting, diantaranya arca Prajnaparamita, dan sebuah padmasana bata (lapik/dudukan arca), peripih candi, wajra, serta potongan gelang perunggu yang saat ini tersimpan di Museum Situs. Sedang temuan besar lain berupa makara batu berukir sangat indah dan kini terpasang pada salah satu pipi tangga candi utama. Menarik untuk tidak dilewatkan yaitu tetap dilestarikannya sisa-sisa pagar tembok yang telah rubuh, yang terletak di depan candi di sisi timur laut.
Candi Gumpung
Candi Gumpung
Arca Pradjaparamita
Arca Pradjaparamita
Bunga emas yang ditemukan pada Candi Gumpung
Bunga emas yang ditemukan pada Candi Gumpung
Kolam Telagorajo
Sekitar 100 meter arah tenggara Candi Gumpung terdapat sebuah kolam yang dikenal dengan nama Telagorajo. Kolam ini terbuat dari tanah dengan bagian tepi tidak berlapis bata, kedalam kolam jika dihitung dari permukaan gundukan tanah adalah 4 meter, namun hanya setengah dari kedalaman tersebut yang digenangi air. Keberadaan kolam yang ditemukan pada 1970, diperkirakan berfungsi sebagai waduk kontrol air agar tidak menggenangi candi dan sebagai persediaan air bersih pada masa lalu.
Telagorajo
Telagorajo
Candi Tinggi I dan Candi Tinggi II
Candi berikutnya adalah Candi Tinggi II, berjarak 500 meter sebelah timur laut Candi Gumpung. Luas komplek Candi Tinggi 2,92 Ha terdiri dari 1 bangunan induk, 6 bangunan perwara dan pagar keliling. Bangunan induk telah dipugar berdenah bujur sangkar, berukuran 16 m x 16 m dengan tinggi 7,6 m. Diperkirakan dahulu, candi ini dibangun dua tahap, hal ini terbukti dari struktur bangunan yang lebih tua ditemukan masih tetap utuh dibagian dalam bangunan candi. Bagian penampil dan tangga naik pada candi induk berada di sebelah selatan. Sedangkan candi perwara yang berbentuk bujur sangkar meyebar di sisi timur laut, barat, baratdaya, selatan candi induk. Keadaan sekarang dari bangunan tersebut yang tersisa hanya bagian pondasi dan sedikit bagian kaki, gapura menuju komplek candi tinggi ini terletak di timur dan barat. Pada candi induk terdapat tangga naik menuju kedua teras candi dengan tubuh bangunan makin mengecil pada puncaknya. Beberapa temuan yang sekarang tersimpan di Museum Situs, antara lain sejumlah potongan benda dari besi dan perunggu, pecahan arca batu, fragmen keramik asing dari Cina asal abad ke-9 hingga ke-14 Masehi. Disamping itu juga terdapat bata-bata kuno yang digores dengan tulisan yang lazim dipakai pada abad ke-9 Masehi, sezaman dengan tulisan prenagari.Tidak jauh dari Candi Tinggi II, terdapat Candi Tinggi I, candi ini berukuran lebih kecil dari Candi Tinggi II.
Candi Tinggi I
Candi Tinggi I
Candi Tinggi II
Candi Tinggi II
Candi Kembar Batu
Terletak sekitar 250 meter sebelah tenggara komplek Candi Tinggi II, terdapat Candi Kembarbatu yang diperkirakan mulai dibangun sekitar abad 12Masehi. Pada candi ini ditemukan artefak berupa gong bertuliskan huruf Cina, lempengan-lempengan emas, batu akik, bata bertuliskan huruf Jawa Kuno dan keramik Cina. Komplek candi kembarbatu memiliki halaman berukuran 59 m x 63 m. Di dalam terdapat 1 candi induk, 5 candi perwara yang telah di pugar, 2 perwara yang belum di pugar, 2 struktur bangunan yang belum diketahui fungsinya, pagar keliling, gapura, dan parit keliling. Secara keseluruhan komponen bangunan yang terdapat di komplek Candi Kembarbatu terbuat dari bata. Candi induk menghadap ke arah timur, perwara I menghadap ke arah timur-barat, perwara II dan V menghadap ke arah timur dan perwara III dan IV menghadap ke arah utara. Pada waktu dilakukan ekskavasi berhasil diselamatkan sebuah gong kuno dari perunggu bertuliskan huruf Cina, dan kini benda itu menjadi koleksi Museum Negeri Jambi. Selain itu juga ditemukan pula bata bergambar, bergores serta bertulis, dan keramik asing dari masa Dinasti Sung yang dapat kita lihat di Museum Situs.
Candi Kembar Batu
Candi Kembar Batu
Candi Astano
Candi Astano berada sekitar 1.250 m arah timur Candi Tinggi. Bangunan candi induk unik, berbeda bentuk dibanding candi-candi lain yang ada di Situs Muaro Jambi. Bentuk bangunan memiliki 12 sisi, menurut penafsiran para ahli, bentuk tersebut merupakan gabungan tiga bangunan yang masing-masing berbeda usianya atau dibangun lebih dari satu kali. Selain itu di lokasi candi juga ditemukan dau buah padmasana (lapik/dudukan arca), keramik asing dari masa Dinasti Sung dan ratusan manik-manik.
Candi Astano
Candi Astano
Candi Gedong I dan Candi Gedong II
Kedua candi letaknya saling berdampingan, Candi Gedong 1 berada di sisi timur dan Candi Gedong 2 terletak di sebelah barat. Kedua candi ini terletak sekitar 1 kilometer disebelah barat Candi Gumpung. Kedua candi induk sama-sama memiliki tangga masuk dari sisi timur. Halaman candi dikelilingi pagar tembok sepanjang 65 x 85 m dengan gapura utama terletak di sisi timur. Selain bangunan candi, juga ditemukan pecahan arca, sejumlah bata bergambar dan bertulis, lesung batu, lonceng, uang kepeng Cina, umpak batu dan pecahan-pecahan genting kuno yang semuanya tersimpan di Museum Situs. Khusus temuan umpak batu dan genting, ditafsirkan pada lokasi ini selain terdapat struktur bangunan bata, juga pernah berdiri struktur bangunan kayu/bambu beratap genting. Candi Gedong 2 dikelilingi pagar tembok sepanjang 76 x 675 m, sedang reruntuhan gapura utama terletak di sisi timur. Dari sisa-sisa yang ada dapat diketahui bahwa pada mulanya Candi Gedong 2 memiliki lantai bata, di depan candi induk terdapat candi perwara. Temuan penting lainnya, yaitu arca Gajah Singha serta sejumlah pecahan arca batu, bata bertulis dan pecahan keramik asing dan lokal.
Candi Gedong I
Candi Gedong I
Candi Gedong II
Candi Gedong II
Arca Gaja Singha yang ditemukan pada Candi Gedong
Arca Gaja Singha yang ditemukan pada Candi Gedong
Arca Dwarapala yang ditemukan pada candi gedong
Arca Dwarapala yang ditemukan pada candi gedong
Candi Kedaton
Kompleks candi terletak di sebelah utara jalan raya, sebelum pintu gerbang masuk kawasan wisata Situs Muaro Jambi, atau dapat dicapai dari pusat kunjungan ke arah barat melalui Candi Gedong 1 dan 2. Candi Kedaton merupakan kompleks candi terbesar yang ada di Situs Muaro Jambi. Halaman kompleks dikelilingi pagar tembok, reruntuhannya masih dapat ditemui, dan diperkirakan memiliki panjang yang mengelilingi wilayah 215 x 250 m. Di dalam kompleks terdapat candi induk yang menghadap ke utara dan berdenah bujur sangkar berukuran 26 x 26 meter. Bangunannya mudah dikenali karena bentuknya yang besar dan pada salah satu dinding sisi barat terdapat longsoran berangkal berwarna putih yang merupakan bagian dari batu isian bangunan. Kebesaran candi juga tampak dari aneka ragam temuan purbakala seperti padmasana batu, umpak-umpak batu, ubin bata serta tidak jauh dari lokasi candi pernah ditemukan sebuah belanga yang cukup besar, yang kini tersimpan di Museum Situs.
Candi Kedaton
Candi Kedaton
Belanga yang ditemukan pada Candi Kedaton
Belanga yang ditemukan pada Candi Kedaton
Candi Koto Mahligai
Lokasi kompleks candi terletak paling barat dari gugusan percandian Muaro Jambi. Dari pusat kunjungan wisata situs purbakala Muaro Jambi berjarak ± 4 km, yang secara administratif terletak di wilayah Desa Danau Lamo kecamatan Muarosebo. Pada kompleks candi terdapat candi induk dan candi perwara, selain itu juga terdapat sisa-sisa dinding tembok suatu bangunan yang terdiri dari beberapa ruangan. Wilayah dengan luas ± 10.850 m² ini juga dikelilingi pagar tembok. Pada halaman ini pernah ditemukan dua buah arca gajah, satu diantaranya berupa Gajah Singha seperti yang ditemukan di Candi Gedong 2. Kedua arca tersebut telah dipindahkan dan disimpan di Museum Situs.
arca-gajah-singha-1-yang-ditemukan-di-candi-koto-mahligai
Arca Gaja Singha 1 yang ditemukan di Candi Koto Mahligai
Arca Gaja Singha 2 yang ditemukan pada Candi Koto Mahligai
Arca Gaja Singha 2 yang ditemukan pada Candi Koto Mahligai
Gundukan candi yang belum dipugar
Masih terdapat 5 komplek candi yang telah terdefinisi tapi belum di pugar, yaitu Candi Sialang, Candi Sematang Tanah, Candi Kemuning, Candi Teluk I dan Candi Teluk II. Tiga candi pertama terletak tidak jauh dari Museum Situs, sedangkan Candi Teluk I dan II terletak di seberang Sungai Batanghari dan tidak mungkin saya kunjungi. Lagi pula kelima Candi tersebut masih berupa gundukan pecahan bata merah.
Saat ini telah ditemukan sekitar 83 runtuhan candi termasuk benteng dan sungai buatan yang mengelilinginya serta 60 buah menapo (gundukan tanah reruntuhan sisa bangunan kuno) yang terdapat di situs Muaro Jambi. Namun baru sembilan candi yang telah dilakukan pemugaran yaitu Candi Tinggi I, Candi Tinggi II, Candi Gumpung, Candi Kembar Batu, Candi Astano, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Kedaton, dan Candi Koto Mahligai dan satu buah Telagorajo.
Sejarah Kesitusan Muara Jambi
Mengenai percandian Muara Jambi, para pakar sepakat bahwa percandian tersebut dihubungkan dengan Kerajaan Melayu yang lokasinya ada di sekitar Batanghari. Pada mulanya situs Muaro Jambi tidak banyak dikenal orang dan hanya diketahui penduduk setempat. Baru pada tahun 1820, secara terbatas situs ini mulai terungkap setelah kedatangan S.C. Crooke, seorang perwira Inggris yang ketika bertugas mengunjungi daerah pedalaman Batanghari mendapat laporan dari penduduk setempat tentang adanya peninggalan kuno di Desa Muaro Jambi. Selanjutnya pada tahun 1935-1936, seorang sarjana Belanda yang bernama F.M. Schnitger, dalam ekspedisi purbakalanya di wilayah Sumatera, pernah mengunjungi dan sempat melakukan penggalian terhadap situs Muaro Jambi. Sejak itu Muaro Jambi mulai dikenal, dan mulai 1976 sampai saat ini, secara serius dan bertahap, dilakukan penelitian dan preservasi arkeologi untuk menyelamatkan situs dan peninggalan bersejarah di situs Muaro Jambi ini. Pada Perayaan Waisak 2007, Komplek Percandian Muaro Jambi menjadi lokasi pusat perayaan Waisak di Sumatra.
Deretan Stupa disisi utara museum situs
Deretan Stupa disisi utara museum situs
Stupa di sisi utara museum situs
Stupa di sisi utara museum situs
Bangunan-bangunan candi dan bekas reruntuhannya menunjukkan bahwa di masa lalu situs Percandian Muaro Jambi pernah menjadi pusat peribadatan. Terdapat petunjuk kuat dari peninggalan yang ditemukan bahwa Percandian Muaro Jambi adalah pusat peribadatan agama Budha Tantri Mahayana (Tantrayana) . Petunjuk tersebut terlihat selain dari candinya sendiri juga dari ragam temuan sarana ritual seperti, Arca Prajnaparamita (Dewi Kebijaksanaan), reruntuhan stupa, arca gajah singha, wajra besi.
Wilayah situs juga dikelilingi oleh setidaknya 6 kanal atau parit-parit kuno buatan manusia, yang oleh penduduk setempat dinamai Parit Sekapung, Parit Johor dan Sungai Melayu. Sebagian besar parit tersebut saat ini sudah mengalami pendangkalan. Beberapa tahun silam, penduduk setempat masih memanfaatkan alur-alur kanal kuno ini sebagai sarana transportasi dengan menggunakan sampan tradisional. Bukan tidak mungkin bahwa pada masa lalu kanal-kanal ini dibuat dengan alasan yang sama, yaitu sebagai sarana transportasi dan distribusi logistik, selain sebagai sistem drainase kawasan rawa. Ada pula yang menduga fungsi strategisnya sebagai sistem pertahanan kompleks percandian.
Berbeda dengan candi Borobudur yang dibuat dari batu andesit, candi di sini terbuat dari bata merah. Istilah komplek digunakan karena pada umumnya candi bukan merupakan sebuah bangunan, Namun merupakan sebuah sistem rancang bangun yang terdiri dari bangunan induk, dan terdapat bangunan lain sebagai pendamping atau perwara. Candi di situs muarojambi terbuat dari batubata yang memiliki ukuran yang lebih besar dari batu bata yang dibuat sekarang, bentuknyapun sangat beragam. Tidak mengherankan jika batubata dijadikan sebagai bahan utama pembangunan Candi pada jaman dulu, karena faktanya di daerah Jambi yang merupakan dataran rendah susah ditemukan batu alam.
Banyak artefak termasuk arca yang dibuat menggunakan bahan yang berbeda, dipastikan benda-benda tersebut adalah benda impor dari pulau jawa atau dari daerah diluar Jambi. Bayangkan jika suatu saat, seluruh gundukan candi (80 buah) dan menapo (gundukan tanah yang merupakan bangunan purba) dipugar seperti keadaan pada masa lalu, parit disekitar candi di “re-build”, kanal kuno atau sungai buatan zaman itu — (Sungai Amburan Jalo, Sungai Terusan, Sungai Berembang, Parit Sungai Medak, Sungai Melayu, parit Johor, Parit Sekapung, Sungai Jambi) — digali, diairi sehingga dapat dilalui oleh kapal-kapal kecil dalam menjelajah situs terluas di Indonesia itu, yang akan membawa kita menuju ke masa kuno ketika itu. Seperti yang pernah dikatakan oleh Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin : Dalam beberapa tahun akan datang, mungkin saja kita bisa mengelilingi situs percandian Muaro Jambi dengan menggunakan kapal melalui kanal-kanal kuno disekeliling komplek percandian, kita seperti dibawa kembali ke abad 4 Masehi. Mungkin suatu saat akan menjadi salah satu keajaiban dunia.