Menelusuri Jejak Sejarah Kerajaan Malayu Tua di Situs Muara Jambi, Situs Purbakala Terluas Di Indonesia
![peta-situs1](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/peta-situs1.jpg?w=300&h=224)
Peta Situs Muara Jambi
Tahukah
anda jika di propinsi Jambi pernah berdiri tiga kerajaan melayu? Dua
diantaranya bercorak Budha, bermula dari Kerajaan Malayu (Melayu Tua)
kemudian muncul Kerajaan Dharmasraya (Melayu Muda), dan terakhir adalah
Kesultanan Jambi yang bercorak Islam (Melayu Islam). Ketiga Kerajaan
tersebut berdiri silih berganti sejak abad ke-4 Masehi hingga kedatangan
bangsa Belanda ke Jambi yang berhasil menghancurkan Kesultanan Jambi
pada tahun 1904.
Sebagian
masyarakat di Propinsi Jambi sudah mengetahui keberadaan situs Muara
Jambi yang lebih dikenal dengan komplek percandian Muara Jambi, minimal
pernah mendengar nama tersebut. Tapi, siapa menyangka jika situs
purbakala tersebut ditemukan di tengah lebatnya hutan. Jangan
membayangkan bahwa candi-candi tersebut seperti Candi Borobudur atau
Prambanan di Pulau Jawa. Situs purbakala yang membentang dari Barat ke
Timur di tepian Sungai Batang Hari sepanjang 7,5 kilometer ini dibangun
menggunakan batu merah dan pada dindingnya belum ditemukan
pahatan-pahatan relief. Keberadaan kompleks percandian ini menjadi bukti
bahwa sekitar abad 4-5 Masehi, Kerajaan Malayu (Melayu Tua yang
bercorak Budha) pernah beribu kota di Muara Jambi. Peninggalan ini
terbentang dari desa Muaro Jambi dan desa Danau Lamo di bagian barat
hingga desa Kemingking Dalam, Kecamatan Muaro Sebo di bagian Timur,
Kabupaten Muara Jambi. Situs yang terletak sekitar 500 meter dari Sungai
Batang Hari ini memiliki luas 155.269,58 hektar, sepuluh kali lebih
luas dari situs borobudur, keberadaannya seperti tersembunyi dari
peradaban.
Bagi
yang menyukai wisata sejarah, situs Muara Jambi dapat dijadikan sebagai
pilihan. Untuk menuju ke Komplek Percandian Muara Jambi, dapat ditempuh
melalui jalan sungai dan darat. Berikut adalah catatan perjalan saya
menuju situs Muara Jambi pada Sabtu ( 7 Februari 2009).
Perjalanan
saya menuju situs Muara Jambi ditempuh dengan lancar melalui jalan
darat dengan menggunakan sepeda motor selama 1 jam dari pusat kota
melalui Jembatan Aurduri, Simpang Jambi Kecil, hingga tiba di lokasi.
Setelah melewati Jembatan Aurduri, jalan terbagi dua, ke arah kanan
menuju ke Kecamatan Danau Teluk (Kota Jambi) sedangkan ke arah kiri
menuju kelurahan Penyengat Olak (Muara Jambi), ke arah inilah sepeda
motor kami belokkan. Jalan yang ditempuh sepanjang kelurahan Penyengat
Olak berkondisi baik, lebar dan ramai dengan kendaraan besar, wajar saja
karena ini merupakan jalan lintas yang dilalui oleh kendaraan berbadan
besar.
Baru
tiga kilometer perjalanan dari jembatan Aur Duri, terdapat sebuah
simpang tiga dengan papan penunjuk arah berukuran besar, yang menyatakan
bahwa untuk menuju ke lokasi kami harus berbelok ke arah kanan. Setelah
berbelok ke arah kanan kembali terdapat papan penunjuk arah, kali ini
berukuran kecil dengan tulisan : Candi Muara Jambi 23 KM. Inilah yang
dinamakan simpang Jambi Kecil. Rute yang akan saya lewati selanjutnya
adalah jalan perkampungan yang sudah beraspal. Sayangnya, sepanjang
jalan ini terdapat banyak lubang dengan kedalaman 10 hingga 20 cm. Mulai
dari sinilah, kami sulit melaju dengan kecepatan tinggi.
Dua kilometer dari simpang Jambi
Kecil, kami masih menemukan banyak rumah-rumah penduduk berbentuk rumah
panggung, sekolah dasar dan madrasah, hewan ternak seperti sapi,
kambing, dan kotorannya, serta ladang. Setelah itu, sepanjang jalan
hanya dipenuhi oleh kebun karet, semak belukar serta pohon-pohon tinggi
berdaun lebat. Rute ini, lebih layak disebut “membelah hutan”. Selama
dua puluh menit, yang terlihat di rute ini hanya semak belukar dan
pohon-pohon rindang, sesekali kami bertemu dengan satu-dua orang warga
yang baru pulang dari berladang. Jika saja di rute itu, sepeda motor
yang saya kendarai tiba-tiba mogok, berarti saya harus mendorong sepeda
motor sejauh belasan kilometer untuk bisa menemukan bengkel. Dalam
perjalanan melintasi hutan ini, saya hanya bisa berharap semua
berlangsung dengan baik. Suatu saat saya dikejutkan dengan seekor kera
yang sedang melintas. Dalam benak, untung hanya seekor kera, bagaimana
halnya jika kami bertemu dengan binatang buas ?
Sekitar
dua puluh menit “membelah hutan” kami kembali menemukan rumah warga,
ini pertanda bahwa beberapa saat lagi kami akan melintasi jalan besar.
Ternyata benar, setelah keluar dari rute “membelah hutan”, selanjutnya
adalah “rute aman”. Di “rute aman” ini, banyak terdapat rumah warga,
fasilitas publik, termasuk bengkel sepeda motor. Sekitar 15 menit
kemudian, saya tiba di lokasi, tentu dengan petunjuk dari “papan
penunjuk jalan yang berukuran kecil”. Karena ini adalah perjalan pertama
saya menuju ke Situs Muara Jambi, maka keberadaan papan penunjuk arah
sangat berarti.
Setibanya
di lokasi, saya heran, ternyata keadaan komplek percandian ini tidak
jauh berubah dengan keadaan 15 tahun lalu saat saya masih berumur 6
tahun dan masih duduk di kelas 1 sekolah dasar, saat pertama kali saya
mengunjungi situs ini. Yang berbeda hanyalah adanya gapura di pintu
utama, papan bertuliskan “Selamat Datang di Situs Muara Jambi” serta
jalan setapak terbuat dari konblok yang menjadi penghubung antar candi.
Ya, komplek percandian ini sangat luas, jadi diperbolehkan untuk
menggunakan sepeda motor di area komplek untuk menuju candi yang satu ke
candi yang lain.dalam menghubungkan untuk menggunakan sepeda motor.
Lima
ratus meter dari pintu utama, terdapat sebuah dermaga kecil di pinggir
sungai Batanghari. Dermaga ini digunakan bagi pelancong yang menggunakan
speedboat melalui Batanghari yang merupakan sungai terpanjang di
sumatera. Dari informasi yang saya dapat, dermaga ini sangat jarang
disinggahi oleh speedboat karena pada umumnya pelancong lebih memilih
jalan darat. Masuk dari pintu utama, disisi kiri (sebelah barat)
terdapat rumah-rumah penduduk berbentuk rumah panggung berdinding kayu,
disisi kanan (sebelah timur) terdapat gedung kesenian yang berwarna
merah bata – sama seperti warna candi-candi disini. Kemudian disebelah
timur terdapat gedung koleksi atau museum situs yang menyimpan
artefak-artefak yang ditemukan di situs ini.
Candi Gumpung
Candi
yang pertama kali kita jumpai adalah Candi Gumpung, yang berada tepat
di depan Museum Situs . Candi ini ditemukan pada tahun 1820, dan
dilakukan pemugaran pada tahun 1982 sd 1988. Penyebutan nama gumpung
pertama kali oleh F.M.Schinitger dalam laporan pengamatannya pada tahun
1937. Berdasarkan dari bentuk huruf pada prasasti-prasasti yang
ditemukan pada candi gumpung, diperkirakan candi ini dibangun antara
abad ke 9 masehi hingga awal abad ke 10 Masehi. Candi gumpung memiliki
halaman yang dibatasi dengan pagar keliling berbentuk persegi dengan
ukuran 150 m x 155 m dengan 6 buah gapura, terdapat sebuah candi induk
berukuran 17,9 m x 17,3 m dan candi perwara berukuran 9,85 m dan 9,75 m.
Sekeliling pagar terdapat parit kecil yang dahulu dapat dialiri oleh
air. Disebelah utara candi ini terdapat sungai buatan yang disebut
dengan parit johor dan bagian barat terdapat sungai (buatan) jambi,
namun kedua sungai buatan tersebut saat ini sudah mengalami pendangkalan
dan tidak bisa dilalui lagi dengan kendaraan air seperti perahu sampan.
Candi ini menghadap ke arah timur, sesuai dengan arah gapura utama.
Pada waktu dilakukan pemugaran tahun 1982 hingga 1988, telah
diselamatkan beberapa temuan penting, diantaranya arca Prajnaparamita,
dan sebuah padmasana bata (lapik/dudukan arca), peripih candi, wajra,
serta potongan gelang perunggu yang saat ini tersimpan di Museum Situs.
Sedang temuan besar lain berupa makara batu berukir sangat indah dan
kini terpasang pada salah satu pipi tangga candi utama. Menarik untuk
tidak dilewatkan yaitu tetap dilestarikannya sisa-sisa pagar tembok yang
telah rubuh, yang terletak di depan candi di sisi timur laut.
![Candi Gumpung](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/candi-gumpung1.jpg?w=614)
Candi Gumpung
- Arca Pradjaparamita
![Bunga emas yang ditemukan pada Candi Gumpung](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/bunga-emas-yang-ditemukan-pada-candi-gumpung.jpg?w=614)
Bunga emas yang ditemukan pada Candi Gumpung
Kolam Telagorajo
Sekitar
100 meter arah tenggara Candi Gumpung terdapat sebuah kolam yang
dikenal dengan nama Telagorajo. Kolam ini terbuat dari tanah dengan
bagian tepi tidak berlapis bata, kedalam kolam jika dihitung dari
permukaan gundukan tanah adalah 4 meter, namun hanya setengah dari
kedalaman tersebut yang digenangi air. Keberadaan kolam yang ditemukan
pada 1970, diperkirakan berfungsi sebagai waduk kontrol air agar tidak menggenangi candi dan sebagai persediaan air bersih pada masa lalu.
![Telagorajo](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/telago-rajo.jpg?w=614)
Telagorajo
Candi Tinggi I dan Candi Tinggi II
Candi berikutnya adalah Candi Tinggi II, berjarak 500 meter sebelah timur laut Candi Gumpung. Luas
komplek Candi Tinggi 2,92 Ha terdiri dari 1 bangunan induk, 6 bangunan
perwara dan pagar keliling. Bangunan induk telah dipugar berdenah bujur
sangkar, berukuran 16 m x 16 m dengan tinggi 7,6 m. Diperkirakan dahulu,
candi ini dibangun dua tahap, hal ini terbukti dari struktur bangunan
yang lebih tua ditemukan masih tetap utuh dibagian dalam bangunan candi.
Bagian penampil dan tangga naik pada candi induk berada di sebelah
selatan. Sedangkan candi perwara yang berbentuk bujur sangkar meyebar di
sisi timur laut, barat, baratdaya, selatan candi induk. Keadaan
sekarang dari bangunan tersebut yang tersisa hanya bagian pondasi dan
sedikit bagian kaki, gapura menuju komplek candi tinggi ini terletak di
timur dan barat. Pada candi induk terdapat tangga naik menuju kedua
teras candi dengan tubuh bangunan makin mengecil pada puncaknya.
Beberapa temuan yang sekarang tersimpan di Museum Situs, antara lain
sejumlah potongan benda dari besi dan perunggu, pecahan arca batu,
fragmen keramik asing dari Cina asal abad ke-9 hingga ke-14 Masehi.
Disamping itu juga terdapat bata-bata kuno yang digores dengan tulisan
yang lazim dipakai pada abad ke-9 Masehi, sezaman dengan tulisan
prenagari.Tidak jauh dari Candi Tinggi II, terdapat Candi Tinggi I,
candi ini berukuran lebih kecil dari Candi Tinggi II.
![Candi Tinggi I](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/candi-tinggi-i.jpg?w=614)
Candi Tinggi I
![Candi Tinggi II](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/candi-tinggi-ii.jpg?w=614)
Candi Tinggi II
Candi Kembar Batu
Terletak
sekitar 250 meter sebelah tenggara komplek Candi Tinggi II, terdapat
Candi Kembarbatu yang diperkirakan mulai dibangun sekitar abad 12Masehi.
Pada candi ini ditemukan artefak berupa gong bertuliskan huruf Cina,
lempengan-lempengan emas, batu akik, bata bertuliskan huruf Jawa Kuno
dan keramik Cina. Komplek candi kembarbatu memiliki halaman berukuran 59
m x 63 m. Di dalam terdapat 1 candi induk, 5 candi perwara yang telah
di pugar, 2 perwara yang belum di pugar, 2 struktur bangunan yang belum
diketahui fungsinya, pagar keliling, gapura, dan parit keliling. Secara
keseluruhan komponen bangunan yang terdapat di komplek Candi Kembarbatu
terbuat dari bata. Candi induk menghadap ke arah timur, perwara I
menghadap ke arah timur-barat, perwara II dan V menghadap ke arah timur
dan perwara III dan IV menghadap ke arah utara. Pada waktu dilakukan
ekskavasi berhasil diselamatkan sebuah gong kuno dari perunggu
bertuliskan huruf Cina, dan kini benda itu menjadi koleksi Museum Negeri
Jambi. Selain itu juga ditemukan pula bata bergambar, bergores serta
bertulis, dan keramik asing dari masa Dinasti Sung yang dapat kita lihat
di Museum Situs.
![Candi Kembar Batu](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/candi-kembar-batu.jpg?w=614)
Candi Kembar Batu
Candi Astano
Candi
Astano berada sekitar 1.250 m arah timur Candi Tinggi. Bangunan candi
induk unik, berbeda bentuk dibanding candi-candi lain yang ada di Situs
Muaro Jambi. Bentuk bangunan memiliki 12 sisi, menurut penafsiran para
ahli, bentuk tersebut merupakan gabungan tiga bangunan yang
masing-masing berbeda usianya atau dibangun lebih dari satu kali. Selain
itu di lokasi candi juga ditemukan dau buah padmasana (lapik/dudukan
arca), keramik asing dari masa Dinasti Sung dan ratusan manik-manik.
![Candi Astano](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/candi-astano.jpg?w=614)
Candi Astano
Candi Gedong I dan Candi Gedong II
Kedua
candi letaknya saling berdampingan, Candi Gedong 1 berada di sisi timur
dan Candi Gedong 2 terletak di sebelah barat. Kedua candi ini terletak
sekitar 1 kilometer disebelah barat Candi Gumpung. Kedua candi induk
sama-sama memiliki tangga masuk dari sisi timur. Halaman candi
dikelilingi pagar tembok sepanjang 65 x 85 m dengan gapura utama
terletak di sisi timur. Selain bangunan candi, juga ditemukan pecahan
arca, sejumlah bata bergambar dan bertulis, lesung batu, lonceng, uang
kepeng Cina, umpak batu dan pecahan-pecahan genting kuno yang semuanya
tersimpan di Museum Situs. Khusus temuan umpak batu dan genting,
ditafsirkan pada lokasi ini selain terdapat struktur bangunan bata, juga
pernah berdiri struktur bangunan kayu/bambu beratap genting. Candi
Gedong 2 dikelilingi pagar tembok sepanjang 76 x 675 m, sedang
reruntuhan gapura utama terletak di sisi timur. Dari sisa-sisa yang ada
dapat diketahui bahwa pada mulanya Candi Gedong 2 memiliki lantai bata,
di depan candi induk terdapat candi perwara. Temuan penting lainnya,
yaitu arca Gajah Singha serta sejumlah pecahan arca batu, bata bertulis
dan pecahan keramik asing dan lokal.
![Candi Gedong I](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/candi-gedong-i2.jpg?w=614)
Candi Gedong I
![Candi Gedong II](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/candi-gedong-ii.jpg?w=614)
Candi Gedong II
![Arca Gaja Singha yang ditemukan pada Candi Gedong](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/arca-gaja-singha-yang-ditemukan-pada-candi-gedong.jpg?w=614)
Arca Gaja Singha yang ditemukan pada Candi Gedong
![Arca Dwarapala yang ditemukan pada candi gedong](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/arca-dwarapala-yang-ditemukan-pada-candi-gedong.jpg?w=614)
Arca Dwarapala yang ditemukan pada candi gedong
Candi Kedaton
Kompleks candi terletak di sebelah
utara jalan raya, sebelum pintu gerbang masuk kawasan wisata Situs Muaro
Jambi, atau dapat dicapai dari pusat kunjungan ke arah barat melalui
Candi Gedong 1 dan 2. Candi Kedaton merupakan kompleks candi terbesar
yang ada di Situs Muaro Jambi. Halaman kompleks dikelilingi pagar
tembok, reruntuhannya masih dapat ditemui, dan diperkirakan memiliki
panjang yang mengelilingi wilayah 215 x 250 m. Di dalam kompleks
terdapat candi induk yang menghadap ke utara dan berdenah bujur sangkar
berukuran 26 x 26 meter. Bangunannya mudah dikenali karena bentuknya
yang besar dan pada salah satu dinding sisi barat terdapat longsoran
berangkal berwarna putih yang merupakan bagian dari batu isian bangunan.
Kebesaran candi juga tampak dari aneka ragam temuan purbakala seperti
padmasana batu, umpak-umpak batu, ubin bata serta tidak jauh dari lokasi
candi pernah ditemukan sebuah belanga yang cukup besar, yang kini
tersimpan di Museum Situs.
![Candi Kedaton](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/candi-kedaton.jpg?w=614)
Candi Kedaton
![belanga-yang-ditemukan-pada-candi-kedaton Belanga yang ditemukan pada Candi Kedaton](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/belanga-yang-ditemukan-pada-candi-kedaton.jpg?w=614)
Belanga yang ditemukan pada Candi Kedaton
Candi Koto Mahligai
Lokasi
kompleks candi terletak paling barat dari gugusan percandian Muaro
Jambi. Dari pusat kunjungan wisata situs purbakala Muaro Jambi berjarak ±
4 km, yang secara administratif terletak di wilayah Desa Danau Lamo
kecamatan Muarosebo. Pada kompleks candi terdapat candi induk dan candi
perwara, selain itu juga terdapat sisa-sisa dinding tembok suatu
bangunan yang terdiri dari beberapa ruangan. Wilayah dengan luas ±
10.850 m² ini juga dikelilingi pagar tembok. Pada halaman ini pernah
ditemukan dua buah arca gajah, satu diantaranya berupa Gajah Singha
seperti yang ditemukan di Candi Gedong 2. Kedua arca tersebut telah
dipindahkan dan disimpan di Museum Situs.
![arca-gajah-singha-1-yang-ditemukan-di-candi-koto-mahligai](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/arca-gajah-singha-1-yang-ditemukan-di-candi-koto-mahligai.jpg?w=614)
Arca Gaja Singha 1 yang ditemukan di Candi Koto Mahligai
![Arca Gaja Singha 2 yang ditemukan pada Candi Koto Mahligai](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/arca-gajah-singha-2-yang-ditemukan-pada-candi-koto-mahligai.jpg?w=614)
Arca Gaja Singha 2 yang ditemukan pada Candi Koto Mahligai
Gundukan candi yang belum dipugar
Masih
terdapat 5 komplek candi yang telah terdefinisi tapi belum di pugar,
yaitu Candi Sialang, Candi Sematang Tanah, Candi Kemuning, Candi Teluk I
dan Candi Teluk II. Tiga candi pertama terletak tidak jauh dari Museum
Situs, sedangkan Candi Teluk I dan II terletak di seberang Sungai
Batanghari dan tidak mungkin saya kunjungi. Lagi pula kelima Candi
tersebut masih berupa gundukan pecahan bata merah.
Saat
ini telah ditemukan sekitar 83 runtuhan candi termasuk benteng dan
sungai buatan yang mengelilinginya serta 60 buah menapo (gundukan tanah
reruntuhan sisa bangunan kuno) yang terdapat di situs Muaro Jambi. Namun
baru sembilan candi yang telah dilakukan pemugaran yaitu Candi Tinggi
I, Candi Tinggi II, Candi Gumpung, Candi Kembar Batu, Candi Astano,
Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Kedaton, dan Candi Koto Mahligai
dan satu buah Telagorajo.
Sejarah Kesitusan Muara Jambi
Mengenai
percandian Muara Jambi, para pakar sepakat bahwa percandian tersebut
dihubungkan dengan Kerajaan Melayu yang lokasinya ada di sekitar
Batanghari. Pada mulanya situs Muaro Jambi tidak banyak dikenal orang
dan hanya diketahui penduduk setempat. Baru pada tahun 1820, secara
terbatas situs ini mulai terungkap setelah kedatangan S.C. Crooke,
seorang perwira Inggris yang ketika bertugas mengunjungi daerah
pedalaman Batanghari mendapat laporan dari penduduk setempat tentang
adanya peninggalan kuno di Desa Muaro Jambi. Selanjutnya pada tahun
1935-1936, seorang sarjana Belanda yang bernama F.M. Schnitger, dalam
ekspedisi purbakalanya di wilayah Sumatera, pernah mengunjungi dan
sempat melakukan penggalian terhadap situs Muaro Jambi. Sejak itu Muaro
Jambi mulai dikenal, dan mulai 1976 sampai saat ini, secara serius dan
bertahap, dilakukan penelitian dan preservasi arkeologi untuk
menyelamatkan situs dan peninggalan bersejarah di situs Muaro Jambi ini.
Pada Perayaan Waisak 2007, Komplek Percandian Muaro Jambi menjadi
lokasi pusat perayaan Waisak di Sumatra.
![Deretan Stupa disisi utara museum situs](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/deretan-stupa-disisi-utara-museum-situs.gif?w=614)
Deretan Stupa disisi utara museum situs
![Stupa di sisi utara museum situs](http://amdefi.files.wordpress.com/2009/04/stupa-di-sisi-utara-museum-situs.gif?w=614)
Stupa di sisi utara museum situs
Bangunan-bangunan
candi dan bekas reruntuhannya menunjukkan bahwa di masa lalu situs
Percandian Muaro Jambi pernah menjadi pusat peribadatan. Terdapat
petunjuk kuat dari peninggalan yang ditemukan bahwa Percandian Muaro
Jambi adalah pusat peribadatan agama Budha Tantri Mahayana (Tantrayana) .
Petunjuk tersebut terlihat selain dari candinya sendiri juga dari ragam
temuan sarana ritual seperti, Arca Prajnaparamita (Dewi Kebijaksanaan),
reruntuhan stupa, arca gajah singha, wajra besi.
Wilayah
situs juga dikelilingi oleh setidaknya 6 kanal atau parit-parit kuno
buatan manusia, yang oleh penduduk setempat dinamai Parit Sekapung,
Parit Johor dan Sungai Melayu. Sebagian besar parit tersebut saat ini
sudah mengalami pendangkalan. Beberapa tahun silam, penduduk setempat
masih memanfaatkan alur-alur kanal kuno ini sebagai sarana transportasi
dengan menggunakan sampan tradisional. Bukan tidak mungkin bahwa pada
masa lalu kanal-kanal ini dibuat dengan alasan yang sama, yaitu sebagai
sarana transportasi dan distribusi logistik, selain sebagai sistem
drainase kawasan rawa. Ada pula yang menduga fungsi strategisnya sebagai
sistem pertahanan kompleks percandian.
Berbeda dengan candi Borobudur yang dibuat dari batu andesit, candi di sini terbuat dari bata merah. Istilah komplek
digunakan karena pada umumnya candi bukan merupakan sebuah bangunan,
Namun merupakan sebuah sistem rancang bangun yang terdiri dari bangunan
induk, dan terdapat bangunan lain sebagai pendamping atau perwara. Candi
di situs muarojambi terbuat dari batubata yang memiliki ukuran yang
lebih besar dari batu bata yang dibuat sekarang, bentuknyapun sangat
beragam. Tidak mengherankan jika batubata dijadikan sebagai bahan utama
pembangunan Candi pada jaman dulu, karena faktanya di daerah Jambi yang
merupakan dataran rendah susah ditemukan batu alam.
Banyak
artefak termasuk arca yang dibuat menggunakan bahan yang berbeda,
dipastikan benda-benda tersebut adalah benda impor dari pulau jawa atau
dari daerah diluar Jambi. Bayangkan jika suatu saat, seluruh gundukan
candi (80 buah) dan menapo (gundukan tanah yang merupakan bangunan
purba) dipugar seperti keadaan pada masa lalu, parit disekitar candi di
“re-build”, kanal kuno atau sungai buatan zaman itu — (Sungai Amburan
Jalo, Sungai Terusan, Sungai Berembang, Parit Sungai Medak, Sungai
Melayu, parit Johor, Parit Sekapung, Sungai Jambi) — digali, diairi
sehingga dapat dilalui oleh kapal-kapal kecil dalam menjelajah situs
terluas di Indonesia itu, yang akan membawa kita menuju ke masa kuno
ketika itu. Seperti yang pernah dikatakan oleh Gubernur Jambi Zulkifli
Nurdin : Dalam beberapa tahun akan datang, mungkin saja kita bisa
mengelilingi situs percandian Muaro Jambi dengan menggunakan kapal
melalui kanal-kanal kuno disekeliling komplek percandian, kita seperti
dibawa kembali ke abad 4 Masehi. Mungkin suatu saat akan menjadi salah satu keajaiban dunia.
0 komentar:
Posting Komentar