Pendidikan pada masa Jepang
Kejayaan
penjajah Belanda lenyap setelah Jepang berada di Indonesia. Mereka
bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Mereka menguasai Indonesia
pada tahun 1942. Tujuan Jepang ke Indonesia ialah menjadikan Indonesia
sebagai sumber bahan mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya
bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal ini sesuai dengan cita-cita
politik ekspansinya.[31]
Mengenai pendidikan zaman jepang disebut “Hakko Ichiu”, yakni mengajak
bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama
Asia Raya. Oleh karena itu pelajar setiap hari terutama pada pagi hari
harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang, lalu dilatih
kemiliteran. Sistem persekolahan di zaman pendudukan Jepang banyak
perbedaannya dibandingkan dengan penjajahan Belanda.[32]
Jepang
mengadakan perubahan di bidang pendidikan, di antaranya menghapuskan
dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan
pengajaran Belanda yang dualistis membedakan antara pengajaran barat dan
pengajaran pribumi. Adapun susunan pengajaran menjadi, pertama, Sekolah
Rakyat enam tahun (termasuk sekolah pertama). Kedua, sekolah menengah
tiga tahun. Ketiga, sekolah menengah tinggi tiga tahun (SMA pada zaman
Jepang).
Kebijakan politik Jepang tampaknya tidak jauh dari
skenario yang dibuat Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan Islam dari
politik praktisnya. Jepang mulai menerapkan pengawasan secara ketat
terhadap organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan
Islam. Namun, paradok dengan yang pertama, rezim pendudukan Jepang juga
membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin Islam terlibat dalam
organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam memobilisasi
Islam Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat
dekat dengan elit muslim.[33]
Dengan semboyan Asia untuk bangsa
Asia, Jepang menguasai daerah yang berpenduduk lebih dari 400 juta
jiwa, yang antara lain menghasilkan 50% produksi karet dan 70% produksi
timah dunia, Indonesia yang kaya akan sumber bahan mentah merupakan
sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk
kepentingan perang Jepang. Itulah sebabnya, Jepang menyerbu Indonesia,
karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah dan
tenaga manusia yang kaya raya sangat besar artinya bagi kelangsungan
perang Pasifik. Hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik
ekspansinya.
Tujuan pendidikan pada zaman Jepang tidaklah hanya
memenangkan peperangan. Secara konkret tujuan yang ingin dicapai Jepang
adalah menyediakan tenaga cuma-cuma (rumosha) dan prajurit-prajurit
yang membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, para
pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, kemiliteran dan indoktrinasi
ketat. Pada akhir zaman Jepang tampak tanda-tanda tujuan menjepangkan
anak-anak Indonesia. Maka dikerahkan barisan propaganda Jepang yang
terkenal dengan nama sedenbu, untuk menanamkan ideologi baru, untuk
menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Untuk menyebarluaskan
ideologi dan semangat Jepang, para guru digembleng secara khusus oleh
pemimpin-pemimpin Jepang, selama tiga bulan di Jakarta. Mereka
diwajibkan meneruskan materi yang telah diterima itu kepada
teman-temannya. Untuk menanamkan semangat Jepang, murid-murid diajarkan
bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran.[34]
Ada beberapa segi positif pada zaman penjajahan Jepang, yaitu :
Jepang memerikan pendidikan militer kepada para pemuda Indonesia,
dengan maksud memperkuat pertahanan mereka. Namun, pendidikan ini secara
tidak langsung memberikan bekal kepada para pejuang bangsa dalam bidang
keprajuritan untuk mewujudkan cita-cita merdeka.
Menghapus
dualisme pendidikan penjajahan belanda dan nenggantinya dengan dengan
pendidikan yang sama bagi setiap orang. Sehingga bukan hanya
kelompok-kelompok tertentu yang dapat menikmati pendidikan, melainkan
semua lapisan masyarakat. Hal ini sudah tentu menguntungkan perjuangan
kita.
Pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh
penjajah Jepang. Bahasa Indonesia mulai dipakai di lembaga-lembaga
pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari.[35]
1.2. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang
Tentang sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih
lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas ketimbang pada
zaman pemerintahan kolonial Belanda. Masalahnya, Jepang tidak begitu
menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi mereka adalah demi
keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu pemuka agama lebih
diberikan keleluasan dalam mengembangkan pendidikannya. Berlainan dengan
kolonial Belanda, di samping bertindak sebagai kaum penjajah, tetapi
ada misi lain yang tidak kalah penting yang mereka emban yaitu misi
agama Kristen, dan untuk ini tentu saja agama Islam yang menjadi
mayoritas penduduk pribumi sekaligus sebagai penentang pertama
kehadirannya, harus ditekan dengan berbagai cara, dan kalau perlu
dilenyapkan sama sekali. [36]
Karena berseberangan dengan
Belanda itulah Jepang berusaha menarik simpati ummat Islam dengan
menempuh beberapa kebijaksanaan, di antaranya:
Kantor
Urusan Agama yang ada pada zaaman belanda disebut Kantor Voor
Islamistische Zaken yang dipimpin oleh orientalis Belanda, diubah oleh
Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri
yaitu KH. Hasyim Asy’ari, dan di daerah-daerah juga disebut Sumuka.
Pondok Pesantren yang besar-besar seringkali mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
Disamping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
Barisan ini dipimpin oleh KH. Zainal Arifin.
Pemerintah Jepang
mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin
oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakar, dan Bung Hatta.
Para ulama bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta).
Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.
Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam pendidikan
sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan
dan dinegerikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti
Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang
dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh pendudukan Jepang.
Sementara itu khususnya pada awal-awalnya, madrasah dibangun dengan
gencar-gencarnya selagi ada angin segar yang diberikan oleh Jepang.
Walaupun lebih bersifat politis belaka, kesempatan ini tidak
disia-siakan begitu saja dan umat Islam Indonesia memanfaatkannya dengan
sebaik-baiknya. Ini tampak di Sumatera dengan berdirinya madrasah
Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis Islam Tinggi.
Hampir seluruh
pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang dikunjungi banyak
anak-anak laki-laki dan perempuan. Madrasah Awaliyah ini diadakan pada
sore hari dengan waktu kurang satu setengah jam. Materi yang diajarkan
ialah membaca Alquran, ibadah, akhlak dan keimanan sebagai pelatihan
pelajaran agama yang dilakukan di sekolah rakyat pagi hari.
Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara umum terbengkalai,
karena murid-muridnya setiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris
berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya,
madrasah-madrasah yang berada di dalam lingkungan pondok pesantren bebas
dari pengawasan langsung pemerintah pendudukan Jepang. Pendidikan dalam
pondok pesantren dapat berjalan dengan wajar.[37].
Kebijakan
pendidikan pada masa penjajahan Belanda bersifat weternisasi dan
kristenisasi. Tujuan pendidikan pada masa itu hanya untuk melahirkan
pegawai-pegawai yang diharapkan membantu pemerintahan Belanda.
Perkembangan pendidikan Islam pada masa ini berkembang dengan pesat.
Pendidikan Islam mencoba memadukan antara pendidikan modern Belanda
dengan pendidikan tradisional sehingga melahirkan madrasah-madarasah
berkelas yang tidak hanya memberikan pengetahuan agama saja akan tetapi
juga memberikan pengetahuan umum.
Berbeda dengan Belanda,
imperiaslismenya terhadap negara jajahan adalah 3G (ekonomi, politik dan
agama), imperialisme Jepang justru bertujuan demi kepentingan perang
antara Jepang dengan sekutu. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkuat
kedudukan Jepang, mulai dari cara yang halus sampai yang paling kejam.
Jepang berusaha mengendalikan sumber daya manusia dan sumber daya alam
negara jajahannya Indonesia. Walaupun sikap Jepang terhadap umat Islam
lebih lunak (ini dilihat dari kebijaksanaan-kebijaksanaan Jepang) dari
Belanda, namun di balik semua itu tersembunyi maksud untuk menarik
simpati umat Islam agar mendukung dan membantu kepentingan perang
Jepang, karena Jepang menyadari melalui agama dapat mempengaruhi
masyarakat.
Untuk mempercepat usaha Jepang tersebut segala cara
ditempuh dalam segala segi kehidupan. Salah satunya dengan mengubah
sistem pendidikan. Oleh sebab itu, Jepang menguasai kurikulum baru, yang
berlaku secara umum untuk semua sekolah. Dalam kurikulum ini bahasa
Indonesia menjadi pelajaran utama, bahasa Jepang menjadi pelajaran
wajib. Para pelajar harus mempelajari adat istiadat Jepang, taiso,
melagukan lagu Jepang, melakukan penghormatan (selkerei) ke arah istana
kaisar Tokyo. Guru-guru juga harus dilatih agar dapat melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan Jepang. Selain itu, diberi pelajaran tentang
dasar-dasar pertahanan dan kemiliteran. Dualisme pendidikan pada masa
Belanda dihapus dan diganti dengan sekolah secara umum. Kelak kebijakan
ini sangat menguntungkan Indonesia diantaranya dalam penyeragaman
kurikulum, bangsa Indonesia tidak lagi mengalami diskriminasi
pendidikan.
thanks izin copy
BalasHapuskak putnot nya kok gx da.........?
BalasHapus