PERMULAAN SINGKAT TENTANG SEJARAH BUDDHISME TIBETAN
Oleh: Losang Nyima S. Wijaya ( warga Indonesia di TIBET )
Berdasarkan tradisi yang diceritakan turun temurun, dikatakan bahwa
Tibet adalah tempat kediaman Avalokiteshvara, Bodhisattva welas asih,
dan orang-orang Tibet adalah keturunan dari Beliau. Mereka meyakini
bahwa nenek moyang mereka berasal dari hubungan antara seekor kera
(ape), yang merupakan emanasi dari
Avalokiteshvara, dan raksasa pemakan manusia (ogress), yang merupakan
emanasi dari Arya Tara. Keturunan mereka melahirkan orang-orang Tibet di
daerah Lembah Yarlung. Pada mulanya, bangsa Tibet tidak mempunyai
seorang pemimpin pun hingga sekitar tahun 127 sebelum masehi. Menurut
legenda, seorang Raja India bernama Rupati kabur melintasi pegunungan
Himalaya setelah kekalahannya dalam perang Mahabharata dan tiba di
Lembah Yarlung. Ia kemudian dinobatkan sebagai raja oleh dua belas
pendeta Bon (agama asli dari Bangsa Tibet), yang meyakini bahwa ia turun
dari surga. Para pendeta ini memberinya nama Nyatri Tsenpo. Sejak saat
itu, orang-orang Tibet mulai membentuk sebuah peradaban yang nyata namun
sederhana, didasarkan pada gagasan adanya hubungan saling
ketergantungan antara manusia dan alam. Dalam periode sebelum masuknya
Buddhisme ke Tibet, agama dan kebudayaan asli mereka adalah Bon.
Sebagian dari ajaran Bon ini, walaupun telah berubah secara radikal
melalui kontak mereka dengan Buddhisme, masih dilestarikan di antara
para komunitas orang-orang Tibet di pengasingan.
Buddhisme baru menjadi agama.
Negara di Tibet setelah berabad-abad kemudian. diperkenalkan pertama
kali sekitar tahun 173, pada masa pemerintahan Raja Lha Thothori
Nyantsen. Secara bertahap Budddhisme diasimilasikan, ditanamkan, dan
akhirnya terintegrasi ke dalam cara hidup orang Tibet berkat usaha yang
dipelopori para raja religius. Raja Song Tsen Gampo menjadi Raja pada
usia 13 tahun dan membangun dua buah kuil bernama Rasa Trulnang Tsuglag
Kbang dan Ramoche Tsuglag Khang di Lhasa. Beliau mengirim menterinya
yang bernama Thonmi Sambhota ke India untuk mempelajari bahasa
Sansekerta dan tulisannya. Thonmi Sambhota kemudian menciptakan huruf
Tibetan berdasarkan model dari salah satu aksara yang berkembang di
India. Raja Song Tsen Gampo kemudian mengundang Acharya Kumara dan
Brahmin Shankara dari India, serta Acharya Shilmanju dari Nepal. Mereka
mulai menyebarluaskan dan menerjemahkan ajaran Buddha. Walaupun sang
Raja sendiri tidak benar-benar mempelajari doktrin Buddhisme, beliau
memberikan instruksi-instruksi ke beberapa orang tertentu, sebagian
besar berkaitan dengan ajaran tentang Avalokiteshvara.
Selama
masa pemerintahan Raja Trisong Deutsen, Buddhisme disebarluaskan dengan
semangat yang luar biasa, setelah beliau mengundang Kepala Vihara
Shantarakshita dan Acharya Padmasambhava ke Tibet. Mereka mendirikan
Vihara Samyen pada tahun 799, yang merupakan Vihara pertama di Tibet.
Sangha (perkumpulan para Bhikshu) Tibet mulai terbentuk, ditandai dengan
ditahbiskan 7 orang bangsawan sebagai Bhiksu. Pada masa itu terdapat
dua jenis Sangha, yaitu mereka yang ditahbiskan sebagai Bhikshu, yang
memegang Vinaya, dan praktisi umat awam (Upasaka/Upasika)
Pada
masa ini juga para cendekiawan Buddhis Tibet dengan penuh semangat
menerjemahkan banyak teks-teks Buddhisme, baik Sutra, Shastra
(komentar/penjelasan tentang Sutra), maupun teks Tantra, yang berasal
dari bahasa Sansekerta, ke dalam bahasa Tibet. Proses penerjemahan
literature Buddhis ini berlangsung secara besar-besaran, dibantu oleh
tidak kurang dari 108 cendekiawan Buddhis India. Mereka juga banyak
mendirikan Vihara-vihara.
Setelah tiga generasi, Raja Tri
Ralpachen yang religius mengeluarkan sebuah dekrit bahwa setiap bhikshu
harus didukung oleh 7 keluarga. Pada saat itu ribuan vihara dibangun.
Beliau juga mengundang banyak guru besar India seperti Acharya
Jinamitra, Acharya Surendrabodhi, dan Acharya Danashila. Para guru besar
India ini bersama dengan penerjemah Tibetan, Yeshede dan lainnya,
merevisi dan melakukan standarisasi terhadap terjemahan awal literatur
Buddhisme, berdasarkan terminologi/istilah yang telah disempurnakan.
Dengan ini, ajaran Buddha tersebar luas dengan pesat di seluruh Tibet.
Sayangnya, periode keemasan ini, yang dikenal dengan era Raja Religius
Tibet, segera berakhir . Pengganti Ralpachen, Raja Lang Darma, tidak
memberikan dukungan kepada Buddhisme. Vihara-vihara ‘dikosongkan’ dan
para bhikshu dipaksa untuk lepas jubah, dan kebanyakan dipaksa untuk
masuk militer. Bersamaan dengan kerajaan Tibet terpecah belah,
kebudayaan Buddhisme Tibetan memasuki jaman kegelapan Meskipun demikian,
pada masa Mar Shakya Yeshi, YM Bhiksu Yogejung dan YM Bhikshu Tsang
Rabsel, keduanya adalah pemegang silsilah kebhikshuan dari YM
Shantarakshita, berhasil kabut ke daerah Domey di sebelah tenggara
Tibet. Dengan bantuan dua orang bhikshu Cina, mereka memberikan
pentahbisan penuh kepada Lachen Gongpa Rabsel, yang menandai bangkitnya
kembali komunitas bhiksu Tibet (Sangha Tibet). Demikian pula dengan
datangnya YM Sadhupala dan lainnya ke Ngari (Tibet barat) dan
cendekiawan Kashmiri terkenal Shakyahsri, silsilah kebhikshuan menjadi
berkembang dan anggota Sangha bertambah banyak. Di antara para bhikshu
yang ditahbiskan oleh Gongpa Rabsel, YM Bhikshu Lumey dan lainnya
kembali ke bagian sentral Tibet dan membangkitkan kembali Buddhisme di
sana, membangun vihara-vihara dan mengajarkan Dharma.
Kebangkitan kembali Buddhisme yang paling nyata terjadi di bagian barat
Tibet, di mana Lha Lama Yeshe O, mengikuti jejak para raja religius
terdahulu, mengirimkan para pemuda Tibet yang terpelajar ke Kashmir.
Pada saat ini Kashmir adalah sebuah pusat belajar Buddhisme yang sedang
berkembang pesat. Penerjemah agung, Rinchen Zangpo (958-1055) dan
rekannya Legpai Sherab berhasil kembali ke Tibet dan menyebarluaskan
Buddha Dharma melalui terjemahan teks-teks, mengajar, dan mendirikan
vihara-vihara. Melalui usaha keras dan pengorbanan dari Lama Yeshe O,
akhirnya orang Tibet berhasil mengundang guru besar India terkemuka
yaitu Lama Atisha ke Tibet.
0 komentar:
Posting Komentar