SEJARAH CANDI SUKUH
Bentuk candi
ini yang berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi-candi
lain di Indonesia. Sekilas tampak menyerupai bangunan suku Maya di
Meksiko atau suku Inca di Peru. Candi ini juga tergolong kontroversial
karena adanya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu yakni di dukuh
Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi
ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36
kilometer dari Surakarta.
Situs candi Sukuh ditemukan
kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun
1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh
Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis
bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania
Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang berwarganegara
Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun 1928, pemugaran dimulai.
Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), dimana semakin
kebelakang semakin tinggi. Pada teras pertama terdapat gapura utama.
Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang
berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah
“Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9,
5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun
1437 Masehi. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang
menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. Sepintas memang nampak
porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidakmungkin di
tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang
yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip
lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan
istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief
tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa
saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di
badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.
Pada
teras kedua juga terdapat gapura namun kondisinya kini telah rusak. Di
kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau
dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak
jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini
tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat
sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku
anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta
menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika
dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi
jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan
gapura di teras pertama !
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran
besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta
patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi
candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih
tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu
lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian.
Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa
pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut
cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput
daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi,
maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek
dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat
sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh
sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang
dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk
bersembahyang.
Dengan struktur bangunan seperti ini boleh
dibilang Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu
Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candhi harus
bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah
itulah tempat yang paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata
menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang
mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah
memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia
terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman
Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia
tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena
trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak
petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga
ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu
di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada
umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah
jaman Megalithic.
Di sebelah selatan jalan batu, di pada
pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala.
Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan
Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari
Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya.
Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa
betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang
semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari Uma
Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau
yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku
Kidung Sudamala.
Pada lokasi ini terdapat
dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian
Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama
Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air
kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang
melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini
menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat
menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan
Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan
mencari Tirta Amerta.
Secara keseluruhan, mengunjungi
objek wisata Candi Sukuh memberikan pandangan baru akan bentuk candi
maupun relief2-nya yang tidak lazim seperti layaknya candi-candi lain di
pulau jawa. Tentunya hal ini merupakan bukti yang menunjukkan akan
kekakyaan budaya bangsa Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar